ulu, zaman dahulu kala. Hiduplah seorang Putri Air Mata. Ia dinamai demikian karena membangun puri yang sangat indah. Dinding dan lantainya sangat bening. Sehingga kau akan spontan mengangkat rokmu ketika kau menginjaknya, mengira laintai itu adalah anak sungai, persis seperti yang dilakukan Ratu Bilqis ketika diundang Raja Sulaiman ke istananya.
Puri itu di bangun dengan air matanya sendiri, karena ia tak pernah berhenti menangis sejak kematian menjemput kedua orang tuanya. Puri itu indah, sangat indah, namun sekaligus sangat dingin. Tak pernah ada matahari yang bersinar di sana. Semua tertutup oleh air mata Sang Putri Air Mata. Bibir Putri Air Mata biru karena beku. Dan ia merindukan hangatnya sapa sinar matahari.
Akupun mulai memutar otak, mencari cara bagaimana agar matahari bisa muncul di langit di atas puri. Aku mencoba melawak. Tapi di tengah derai tawanya pun Putri Air Mata masih bisa meneteskan air mata. Aku mengajaknya bernyanyi. Tapi yang keluar dari mulut Putri Air Mata hanyalah lagu balada.
Maka aku mencoba menghiburnya dengan cerita. Bermula dari kisah surga lalu mengalir ke mana saja. Lantas kulihat matahari mulai bersinar di langit. Bibir Putri Air Mata perlahan mulai merekah kemerahan. Terbitnya mentari membuat ia mulai merasakan hangat cuaca.
Tapi sedikit saja aku berhenti bercerita, air mulai menggenangi matanya. Maka aku tidak pernah berhenti. Semakin lama ceritaku semakin berkembang, semakin menarik. Aku menjelma pangeran seribu satu malam yang tak pernah kehabisan gagasan. Lama-lama aku jatuh cinta pada ceritaku sendiri. Aku larut di dalam alur dan tokoh-tokoh di dalamnya.
Ketika aku menoleh, baru kusadari bahwa Putri Air Mata tak ada lagi. Aku bingung, memandang sekeliling untuk mencarinya. Matahari amat terik berdiri tepat di atas kepala. Ternyata kakiku sudah dingin terendam air. Sekeliling puri sudah runtuh. Lantai dan dindingnya sudah mencair menjadi hamparan laut.
Aku menenggelamkan Putri Air Mata.......
Puri itu di bangun dengan air matanya sendiri, karena ia tak pernah berhenti menangis sejak kematian menjemput kedua orang tuanya. Puri itu indah, sangat indah, namun sekaligus sangat dingin. Tak pernah ada matahari yang bersinar di sana. Semua tertutup oleh air mata Sang Putri Air Mata. Bibir Putri Air Mata biru karena beku. Dan ia merindukan hangatnya sapa sinar matahari.
Akupun mulai memutar otak, mencari cara bagaimana agar matahari bisa muncul di langit di atas puri. Aku mencoba melawak. Tapi di tengah derai tawanya pun Putri Air Mata masih bisa meneteskan air mata. Aku mengajaknya bernyanyi. Tapi yang keluar dari mulut Putri Air Mata hanyalah lagu balada.
Maka aku mencoba menghiburnya dengan cerita. Bermula dari kisah surga lalu mengalir ke mana saja. Lantas kulihat matahari mulai bersinar di langit. Bibir Putri Air Mata perlahan mulai merekah kemerahan. Terbitnya mentari membuat ia mulai merasakan hangat cuaca.
Tapi sedikit saja aku berhenti bercerita, air mulai menggenangi matanya. Maka aku tidak pernah berhenti. Semakin lama ceritaku semakin berkembang, semakin menarik. Aku menjelma pangeran seribu satu malam yang tak pernah kehabisan gagasan. Lama-lama aku jatuh cinta pada ceritaku sendiri. Aku larut di dalam alur dan tokoh-tokoh di dalamnya.
Ketika aku menoleh, baru kusadari bahwa Putri Air Mata tak ada lagi. Aku bingung, memandang sekeliling untuk mencarinya. Matahari amat terik berdiri tepat di atas kepala. Ternyata kakiku sudah dingin terendam air. Sekeliling puri sudah runtuh. Lantai dan dindingnya sudah mencair menjadi hamparan laut.
Aku menenggelamkan Putri Air Mata.......